Thursday, May 13, 2010

> Karya Sastra Melayu Klasik

By :Taufiqullah Neutron (Masteropik)

Pernahkah Anda membaca karya sastra Melayu klasik? Sejak dahulu, bangsa kita mengenal karya sastra. Salah satunya, karya sastra Melayu klasik. Sastra Melayu klasik tidak hanya menjadi wujud ekspresi masyarakat Melayu saat itu, tetapi juga sebagai penyampai nilai-nilai kehidupan. Oleh karena itu, mengapresiasi sastra Melayu klasik sangat bermanfaat bagi hidup Anda.

Dalam pembelajaran-pembelajaran sebelumnya Anda belajar berbagai informasi yang berhubungan dengan kehidupan modern, kali ini Anda akan mengambil manfaat dengan belajar mengapresiasi sastra Melayu klasik.

Hikayat Patani
Bismillahirrahmanirrahiim. Wabihi nastainu, biIlahi al a’la.
Inilah suatu kisah yang diceritakan oleh
orang tua-tua, asal raja yang berbuat negeri Patani Darussalam itu.
Adapun raja di Kota Maligai itu namanya Paya Tu
Kerub Mahajana. Maka Paya Tu Kerub Mahajana pun
beranak seorang laki-laki, maka dinamai anakanda
baginda itu Paya Tu Antara. Hatta berapa lamanya
maka Paya Tu Kerub Mahajana pun matilah. Syahdan
maka Paya Tu Antara pun kerajaanlah menggantikan
ayahanda baginda itu. Ia menamai dirinya Paya Tu Naqpa.

Selama Paya Tu Naqpa kerajaan itu sentiasa ia
pergi berburu. Pada suatu hari Paya Tu Naqpa pun
duduk diatas takhta kerajaannya dihadap oleh segala
menteri pegawai hulubalang dan rakyat sekalian.
Arkian maka titah baginda: “Aku dengar khabarnya
perburuan sebelah tepi laut itu terlalu banyak konon.”

Maka sembah segala menteri: “Daulat Tuanku,
sungguhlah seperti titah Duli Yang Mahamulia itu,
patik dengar pun demikian juga.”
Maka titah Paya Tu Naqpa: “Jikalau demikian
kerahkanlah segala rakyat kita. Esok hari kita hendak
pergi berburu ke tepi laut itu.”

Maka sembah segala menteri hulubalangnya:
“Daulat Tuanku, mana titah Duli Yang Mahamulia patik junjung.”
Arkian setelah datanglah pada keesokan
harinya, maka baginda pun berangkatlah dengan
segala menteri hulubalangnya diiringkan oleh rakyat
sekalian. Setelah sampai pada tempat berburu itu,
maka sekalian rakyat pun berhentilah dan kemah
pun didirikan oranglah.

Maka baginda pun turunlah
dari atas gajahnya semayam didalam kemah dihadap
oleh segala menteri hulubalang rakyat sekalian.
Maka baginda pun menitahkan orang pergi melihat
bekas rusa itu. Hatta setelah orang itu datang menghadap
baginda maka sembahnya: “Daulat Tuanku,
pada hutan sebelah tepi laut ini terlalu banyak bekasnya.”
Maka titah baginda: “Baiklah esok pagi-pagi kita berburu”

Maka setelah keesokan harinya maka jaring
dan jerat pun ditahan oranglah. Maka segala rakyat
pun masuklah ke dalam hutan itu mengalan-alan
segala perburuan itu dari pagi-pagi hingga datang
mengelincir matahari, seekor perburuan tiada
diperoleh. Maka baginda pun amat hairanlah serta
menitahkan menyuruh melepaskan anjing perburuan
baginda sendiri itu.

Maka anjing itu pun dilepaskan
oranglah. Hatta ada sekira-kira dua jam lamanya
maka berbunyilah suara anjing itu menyalak. Maka
baginda pun segera mendapatkan suara anjing itu.
Setelah baginda datang kepada suatu serokan tasik
itu, maka baginda pun bertemulah dengan segala
orang yang menurut anjing itu. Maka titah baginda:

“Apa yang disalak oleh anjing itu?”
Maka sembah mereka sekalian itu: “Daulat
Tuanku, patik mohonkan ampun dan karunia. Ada
seekor pelanduk putih, besarnya seperti kambing,
warna tubuhnya gilang gemilang. Itulah yang
dihambat oleh anjing itu. Maka pelanduk itu pun
lenyaplah pada pantai ini.”

Setelah baginda mendengar sembah orang
itu, maka baginda pun berangkat berjalan kepada
tempat itu. Maka baginda pun bertemu dengan
sebuah rumah orang tua laki-bini duduk merawa
dan menjerat. Maka titah baginda suruh bertanya
kepada orang tua itu, dari mana datangnya maka ia
duduk kemari ini dan orang mana asalnya.

Maka hamba raja itu pun menjunjungkan titah
baginda kepada orang tua itu. Maka sembah orang
tua itu: “Daulat Tuanku, adapun patik ini hamba juga
pada kebawah Duli Yang Mahamulia, karena asal patik
ini duduk di Kota Maligai. Maka pada masa Paduka
Nenda berangkat pergi berbuat negeri ke Ayutia,
maka patik pun dikerah orang pergi mengiringkan
Duli Paduka Nenda berangkat itu.

Setelah Paduka
Nenda sampai kepada tempat ini, maka patik pun
kedatangan penyakit, maka patik pun ditinggalkan
oranglah pada tempat ini.”
Maka titah baginda: “Apa nama engkau?”
Maka sembah orang tua itu: “Nama patik Encik
Tani.”

Setelah sudah baginda mendengar sembah
orang tua itu, maka baginda pun kembalilah pada
kemahnya.Dan pada malam itu baginda pun
berbicara dengan segala menteri hulubalangnya
hendak berbuat negeri pada tempat pelanduk
putih itu. Setelah keesokan harinya maka segala
menteri hulubalang pun menyuruh orang mudik ke
Kota Maligai dan ke Lancang mengerahkan segala
rakyat hilir berbuat negeri itu.

Setelah sudah segala menteri hulubalang dititahkah oleh baginda masingmasing
dengan ketumbukannya, maka baginda pun
berangkat kembali ke Kota Maligai.
Hatta antara dua bulan lamanya, maka negeri
itu pun sudahlah. Maka baginda pun pindah hilir
duduk pada negeri yang diperbuat itu, dan negeri
itu pun dinamakannya Patani Darussalam (negeri
yang sejahtera).

Arkian pangkalan yang di tempat pelanduk putih lenyap itu (dan pangkalannya itu)
pada Pintu Gajah ke hulu Jambatan Kedi, (itulah.
Dan) pangkalan itulah tempat Encik Tani naik turun
merawa dan menjerat itu. Syahdan kebanyakan kata
orang nama negeri itu mengikut nama orang yang
merawa itulah. Bahwa sesungguhnya nama negeri
itu mengikut sembah orang mengatakan pelanduk
lenyap itu. Demikianlah hikayatnya.
Sumber: Hikayat Seribu Satu Malam

Setelah membaca karya sastra Melayu klasik tersebut, Anda dapat mengidentifikasinya. Anda dapat mengidentifikasi ciri-ciri karya sastra Melayu klasik tersebut. Anda juga dapat mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik karya sastra Melayu klasik tersebut.




back to top