Tuesday, May 4, 2010

Pencemaran Sungai Jadi Ancaman

By :Taufiqullah Neutron (Masteropik)

Keberadaan Sungai Cenrana dan Teluk Bone tidak bisa dipungkiri menjadi salah satu kebanggaan para petambak di Bone, khususnya di Desa Pallima. Bukan apa-apa, perpaduan air sungai dan air laut dari teluk inilah yang diakui menjadi salah satu faktor penyebab kepiting pallima unggul.  
Keberadaan dua perairan ini pula yang diakui para petambak menjadi lokasi paling bagus bagi tumbuh kembangnya kepiting pallima. Siapa sangka, saat ini sungai dan teluk ini pula yang menjadi ancaman bagi kelangsungan usaha kepiting pallima. 


Pencemaran besar-besaran yang terjadi di Sungai Cenrana saat ini menjadi hal yang menakutkan bagi para petambak di sepanjang sungai tersebut. Mimpi buruk ini sudah mulai menyata beberapa tahun terakhir. Saat kemarau, Sungai Cenrana mendangkal. Hutan-hutan bakau dan nipah di sepanjang bantaran sungai pun ikut menanggung akibatnya. Padahal, sebagaimana diketahui, hutan ini adalah istana bagi para kepiting. Sebaliknya, setiap kali hujan, sungai ini langsung meluap.  


Tentu saja bibit-bibit kepiting serta tambak-tambak warga pun ikut meluap. Saat banjir menggenang di sejumlah daerah di Sulawesi Selatan (Sulsel) akhir tahun 2003 lalu, Cenrana lagi-lagi meluap. Beruntung, kejadiannya tidak separah tahun 2001. 
Akan tetapi, hujan atau sebaliknya, tetap saja menjadi mimpi buruk bagi warga di sepanjang Sungai Cenrana.  Adapun yang membuat warga semakin bersedih sebenarnya karena pencemaran ini lebih banyak disebabkan oleh pencemaran yang terjadi di hulu sungai, bukan lagi disebabkan oleh warga sekitar. Secara geografis, Sungai Cenrana memang menjadi muara dari sejumlah sungai besar dan kecil di Sulsel.  

Dalam peta, jelas terlihat bagaimana Sungai Bila, Walanae, Sa’dan, dan beberapa sungai lainnya mengalirkan sebagian besar airnya ke Danau Tempe, salah satu danau terbesar di Sulsel. Khusus Danau Tempe, satu-satunya tempat keluarnya air dari danau ini hanyalah Sungai Cenrana. Dari Sungai Cenrana air kemudian dibawa ke Teluk Bone Sungai Bila, Walanae, dan Sa’dan adalah tiga sungai besar di Sulsel yang berada di posisi hulu dan ketinggian.  

Persoalannya, lingkungan hulu sungai besar ini umumnya sudah rusak. Hutan-hutan di sepanjang bantaran sungai, sebagian besar sudah gundul. Bahkan, sisi-sisi sungai tidak ada lagi tanaman berakar kuat untuk menahan erosi. 
Sebagian bantaran sungai berubah menjadi permukiman, kebun sayur, sawah, dan lainnya. Ini ditambah lagi perlakuan masyarakat di sepanjang hulu sungai yang ikut menjadi penyumbang terbesar rusaknya sungai.   Akibatnya, setiap kali air sungai ini mengalir membawa serta tanah, lumpur, dan berbagai sampah, termasuk potongan-potongan kayu. 

Sebagai tempat keluarnya air Danau Tempe, Sungai Cenrana pun menanggung akibatnya dan mengalami pendangkalan hebat.  Diibaratkan botol, Danau Tempe adalah badan botol yang besar, sementara Sungai Cenrana adalah leher botol yang kian hari kian menyempit. 
Sementara di Teluk Bone, abrasi dan kerusakan lingkungan lainnya membuat teluk ini mulai kehilangan fungsinya sebagai muara. Bisa dibayangkan, apa yang terjadi pada warga di Desa Pallima jika pada saat bersamaan air Sungai Cenrana meluap dan air Teluk Bone pasang.   

Kemarau sebenarnya adalah saat paling bagus untuk memelihara kepiting. Pasalnya, saat itu perpaduan antara air laut dan air sungai cukup bagus dan tidak berlebihan sehingga sangat bagus bukan hanya untuk perkembangan kepiting, tetapi juga untuk rasa kepiting. S
ebenarnya, untuk masalah lingkungan ini, warga di Desa Pallima dan sekitarnya sudah melakukan berbagai upaya, di antaranya menggalakkan penanaman pohon bakau di sepanjang sisi-sisi tambak.  Sementara terhadap pohon-pohon bakau dan nipah yang sudah ada, para petambak tetap menjaganya dan bahkan melarang untuk ditebang. Ini masih pula ditambah aturan lain, seperti tidak mengotori sungai dan perbuatan lain yang dianggap dapat mencemari sungai. 

“Tetapi, sebaik apapun usaha kami menjaga lingkungan sekitar sini, kalau di hulu tetap rusak, usaha kami tentu sia-sia.  Kami sudah mati-matian tidak mengotori sungai, tetapi air yang mengalir ke sini tidak henti-hentinya membawa lumpur, tanah, dan sampah dari tempat lain,” ujar H. Sultan. 
Diakui petambak setempat, masalah lingkungan ini mulai berdampak pada usaha tambak mereka. Ini bukan hanya pada kualitas, tetapi juga kuantitasnya. Bahkan, secara umum luas tambak pun mulai berkurang, terutama saat musim hujan, karena tersapu luapan air.  

Data Badan Pusat Statistik Kabupaten Bone menunjukkan pengurangan luas tambak sepanjang tahun 2000– 2001. Kalau tahun 2000 luas tambak kepiting masih 2.850 hektar, tahun 2001 berkurang menjadi 2.189 hektar. 
Bahkan jumlah ini pun diyakini petambak terus berkurang hingga kini. Belajar dari pengalaman banjir beberapa tahun belakangan ini, mimpi masyarakat tentang Sungai Cenrana menjadi makin buruk. “Kalau sekarang saja sudah begini parah, bagaimana tahun-tahun nanti,” tutur H. Mandu, sedih.




back to top