Tuesday, May 4, 2010

Menunggu

By :Taufiqullah Neutron (Masteropik)

 Aku kembali terpaku pada panorama yang tak asing lagi. Sebuah panorama yang selama ini begitu akrab dengan kehidupanku di kampus hijau ini. Di depanku berdiri kokoh sebatang pohon palem yang tegar dalam kesendirian. Pohon itu dikelilingi rumput basah yang bermandi matahari. Perlahan sisa tetesan embun yang hinggap di atasnya sirna seiring dengan pagi yang semakin tua.  

Di tempat yang penuh kenangan ini aku masih menunggunya dengan setia, bagiku setia tidak pernah sia-sia. Masih bisa kuhirup aroma pagi walau matahari sudah agak meninggi. Pukul sepuluh, saat yang tepat untuk menunggunya di sini, selasar sebuah masjid yang selalu teduhkan jiwaku. Melapangkan pikiranku dari jenuhnya suasana perkuliahan. Hal inilah yang menjadi salah satu alasanku untuk segera kembali ke tempat ini begitu perkuliahan usai.  Begitu juga dengan teman-temanku yang saat ini, di belakangku, sedang asyik membicarakan rencana perjalanan kami ke Jakarta beberapa minggu lagi. Seusai kuliah tempat ini selalu jadi tujuan mereka. 


Dan kini aku masih asyik sendiri, nikmati matahari dan berbagai aktivitas kehidupan yang saat ini terpajang di depan mataku. Tanpa henti aku memohon pada Tuhan agar pagi ini aku depertemukan dengannya, mahluk indah yang akhir-akhir ini telah mendobrak semesta hatiku dan membuatku jatuh cinta.  Kutebar pandanganku. Di kananku sebuah masjid berdiri dengan megah walau tak semegah masjid raya yang ada di alun-alun kotaku. Masjid itu bernama al-Furqon. Tempat ini adalah salah satu tempat yang paling sering kusinggahi. Di beranda masjid kulihat beberapa mahasiswa sedang membaca al- Quran. Aku terenyuh melihatnya. 

Bagaimana tidak? Akhir-akhir ini aku begitu jarang menyentuh kitab suci. Sungguh, aku benar-benar merasa berdosa.  Tak jauh dari situ kulihat seorang lelaki yang sedang duduk termenung menatap ke arah pohon palem, seperti aku. Tetapi setelah kuamati, sesekali lelaki itu tersenyum kecil seakan sedang bercakapcakap dengan rumput. Entah apa yang sedang ia pikirkan. Mungkinkah dia sedang terperosok ke dasar lembah cinta sepertiku? Entahlah, yang jelas wajahnya tampak tersenyum.  Di depanku, di seberang lapangan rumput, seorang penjual kue donat sedang melayani pembelinya, dua perempuan berjilbab dengan pakaian serba ketat. 

Dengan genitnya mereka memilih-milih donat yang ada di dalam box, sepertinya si penjual donat cukup gerah juga pada dua perempuan centil itu. Tetapi mereka membuatku teringat pada seseorang yang saat ini masih kutunggu. Apa yang sedang dilakukannya di pagi yang semakin tua ini?  Kuharap dia tidak sedang menggoda lelaki lain seperti yang dilakukan oleh dua perempuan itu. Bicara soal jilbab, memang akhir-akhir ini banyak sekali muslimah yang berjilbab bukan karena panggilan hati, melainkan karena panggilan mode. Hal inilah yang terkadang membuatku dan beberapa temanku merasa prihatin.  

Ya, itu memang hak asasi mereka. Tetapi sejujurnya aku lebih menghormati wanita baik-baik tanpa jilbab daripada wanita berjilbab yang masih gemar mempertontonkan auratnya. Seperti bidadari yang saat ini semakin membuat kesabaranku nyaris habis. Ia tidak berjilbab. Rambutnya bergelombang bagai ombak di samudera. Hatinya begitu indah untuk dicinta.  Dan dari cahaya di matanya aku tahu bahwa dia adalah hawa yang tercipta dari rusukku. Tetapi mengapa dia belum muncul juga? * * * Tanpa terasa matahari semakin tinggi, hampir tepat di atas kepalaku. Langit yang menyajikan pemandangan biru muda nyaris tak dihinggapi awan.  

Udara sudah mulai panas. Kulepaskan sweater putih yang kupakai sejak pagi. Ternyata leherku basah karena keringat. Suasana di sekelilingku semakin ramai saja. Berbondong-bondong para mahasiswa dari berbagai arah menyerbu selasar masjid yang sebelumnya tampak lengang. Teman-temanku tak lagi membicarakan rencana perjalanan kami ke Jakarta.  Beberapa di antara mereka ada yang pulang ke kostan dan baru akan kembali pukul satu nanti karena masih ada mata kuliah Kajian Drama. Sedang yang lainnya terlihat sedang tidur-tiduran, mengerjakan tugas, mengobrol, makan, dan bahkan dua orang temanku yang kebetulan berpacaran sedang duduk berdua sekitar tujuh meter dari samping kiriku. Huh, jujur saja aku sedikit iri pada mereka. 

Sepertinya mereka sangat menikmati cinta. Tidak seperti aku yang terkadang begitu merana karena cinta. Seperti saat ini, aku dibuat merana oleh sebuah penantian sambil mendengarkan lagu-lagu Melly Goeslow yang ada dalam album Ada Apa dengan Cinta dengan menggunakan walkman milik temanku.  aku tak bisa jelaskan mengapa bisa begini. Aku s’lalu rindu pada malamku bersamamu…… kuhanya ingin mencintai, aku hanya ingin dicintai. Walaupun banyak yang menentangku, kuhanya ingin bahagia…… *** Siang semakin garang. Mengucurkan keringat di sekujur tubuhku. Saat ini aku sudah bisa mencium aroma siang. 

Kurasakan panas pada kulit tanganku yang terjemur langsung di bawah terik matahari.  Aku berpindah tempat duduk, mencari tempat yang lebih teduh. Kini aku bersandar di sebuah lemari kayu yang biasa dijadikan tempat penitipan sepatu. Orang-orang lalu lalang di depan wajahku. Tiba-tiba seorang anak menghampiriku dengan membawa sebuah kecrek yang terbuat dari kayu dan tutup botol soft drink yang dipipihkan. Kukecilkan suara walkman untuk mendengarkan bocah yang seumuran dengan adik bungsuku bernyanyi, “libuan kilo jalan yang kau tempuh, lewati lintangan demi aku anakmu.”  Hatiku benar-benar tersentuh. 

Bagaimana bisa seorang bocah yang belum bisa mengucapkan huruf “R” berada di sini mencari makan? Bukankah seharusnya mereka berada di bangku sekolah? Inikah tanda-tanda ketidakadilan dunia? Lalu bagaimana dengan masa depan mereka? Ah, kurasa inilah salah satu penyebab keterbelakangan bangsa kita disbanding bangsa lain. Tapi mau bagaimana lagi? Apa sih yang bisa dilakukan oleh seorang mahasiswa miskin seperti aku selain berdo’a, berdo’a, dan berdo’a.  Mudah-mudahan kelak tak ada lagi anak yang kurang beruntung seperti dia. 

Setelah kukeluarkan uang receh secukupnya anak itu berlalu. Ia berkumpul dengan temantemannya di dekat menara putih yang menjulang tinggi di depan masjid ini. Mereka terlihat begitu menikmati penatnya siang. Seakan tanpa beban mereka berlarian di bawah jemuran matahari. Sementara itu aku kembali menebar pendanganku.  Masih dalam rangka mencari sosoknya yang selama ini kurindukan.  Adzan Dzuhur berkumandang, menyerukan panggilan untuk segera menghadap-Nya. Sebagian mahasiswa segera mengambil air wudhu dan sebagian lagi terlihat masih duduk-duduk memenuhi selasar masjid untuk menunggui tas dan sepatu teman- teman mereka yang pergi sholat terlebih dahulu.  

Di masjid ini berkali-kali terjadi kasus kehilangan barang, baik itu tas, sepatu, jaket, atau handphone. Oleh karena itulah sholat bergantian dianggap sebagai solusi terbaik untuk menghindari kehilangan barang. Begitu juga dengan aku, dua tahun yang lalu aku sempat menjadi korban kehilangan tas di masjid ini. Betapa kesalnya aku saat itu. Isi tas memang tidak bernilai jual tinggi bagi orang lain, tetapi bagiku sangat berarti. Isinya disket-disket tugas akhir semester yang belum sempat di-print, dan foto-foto kenanganku bersama kekasihku yang pergi menghadap- Nya tiga tahun yang lalu.  

Gambar-gambar wajah teduhnya seringkali membuatku merasa bahagia karena pernah dicintai oleh mahluk seindah dirinya. Dan sejak aku bertemu dengan seseorang yang saat ini sedang kutunggu, aku seakan dipertemukan kembali dengan reinkarnasi dirinya. Sungguh, kedua gadis itu terkesan sama bagiku. Tetapi mengapa dia belum datang juga?  Segera kumatikan walkman, setelah menitipkan tas dan sepatu pada temanku yang kebetulan sedang “libur sholat”, aku segera mengambil air wudhu dan sholat berjama’ah. Seusai sholat aku berdo’a pada Tuhan agar aku bisa dipersatukan dengannya, aku ingin menjadikannya sebagai matahari cintaku. 

Kemudian aku segera kembali ke selasar masjid. Aku masih berharap bisa bertemu dengannya siang ini, atau paling tidak aku bisa melihatnya walaupun dari kejauhan. Yang jelas di dasar hati terdalamku aku ingin menyatakan isi hatiku untuknya siang ini juga.  Pukul setengah satu, matahari benar-benar tak selembut tadi pagi. Suasana di sekelilingku semakin ramai. Para penjual makanan mulai berdatangan untuk menyajikan hidangan makan siang berupa batagor, siomay, cuanki, es cendol, cincau, dan berbagai makanan lain dengan harga murah tentunya. Tetapi aku sedikitpun tidak tergerak untuk makan. Entah kenapa.  

Beberapa temanku mulai beranjak meninggalkan selasar masjid ini dan segera menuju ruang kuliah yang letaknya cukup jauh dari sini. Untuk sampai di sana kami harus melewati perpustakaan, Balai Bahasa, dan Fakultas Ilmu Pendidikan. Apalagi, di bawah terik yang menyengat ini. Mungkin beber apa teman perempuan yang kolokan akan mengeluh sepanjang jalan. Takut kulitnya terbakar-lah, takut hitam- lah. Menyebalkan.  Aku segera merapikan barang bawaanku, lalu segera kupakai sepatuku. Tetapi aku tidak segera beranjak. Aku masih begitu ingin bertemu dengannya. Sekali lagi kuamati sekelilingku. 

Masih bisa kurasakan suasana ramai khas tempat ini yang terjadi setiap hari kecuali hari Sabtu dan Minggu. Apalagi, hari Senin seperti sekarang ini, biasanya kampusku lebih ramai dibanding hari-hari lainnya.  Dan akhirnya penantianku tidak sia-sia. Tepat di depanku, di dekat gerbang kampus aku melihatnya berjalan menuju tempat parkir motor. Tetapi jantungku seakan berhenti berdegup. Dia tidak sendiri. Seorang lelaki mendampingi langkahnya. Tak lama kemudian mereka berlalu, melaju dengan sebuah sepeda motor. Dia mendekap erat lelakinya. Wajah cantiknya melekat pada punggung lelaki itu. Menara putih dan pohon palem runtuh dalam semesta lukaku.  Rumput terbakar terik matahari seperti hatiku yang terbakar api yang tak kumengerti. Kering dan layu. 

Dalam hitungan detik segalanya berubah jadi debu. Tak ada lagi Mawar atau Kanigara. Yang ada hanyalah bangkai berbau amis. Aku berlalu meninggalkan selasar masjid yang masih dipenuhi manusia. Kutinggalkan sebuah pertanyaan, “mengapa dia tak menjadikan aku sebagai mataharinya?” Pertanyaan itu terjawab setelah aku tahu bahwa lelaki itulah matahari pilihannya.  Dan aku, masih akan selalu menunggu di selasar masjid ini. Bukan lagi menunggu kedatangannya tetapi menunggu kematian sebuah pijaran jiwa yang kini telah diliputi luka menganga. Aku terluka.  Sumber: Majalah Cerita Kita




back to top